Cari Blog Ini

Minggu, 07 April 2013

PANDANGAN ATAU PAHAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


PANDANGAN ATAU PAHAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan, tulisan maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan
kontrak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku.Adakalanya seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dalam bahasa yang baik.
Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut.Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat alamiah (nature), dan pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat “suapan” (nurture). Pandangan ketiga adalah pandangan interaksionisme.Kaum ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa.
Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam.Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi.Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik.Menurut Mc lauglin dalam (Hadley: 43, 1993) Fungsi teori adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai. Ellis menyatakan bahwa setiap guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu.
Teori mempunyai fungsi yaitu: 1) Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin.
2) Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah ada. 3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan supaya terjadi. Teori berhubungan dengan belajar. Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PANDANGAN ATAU PAHAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
2.1.1 Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan.Padahal bahasa itu merupakan salah satunperilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajarannya harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan (Brown, 1987:17).Pembelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkungan bahasa dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangannya.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu.Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh factor di luar dirinya.
Menurut Skinner (dalam Baradja, 1990:31—32), perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, yaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Inilah yang dikatakan belajar sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku. Bila menyenangkan perilaku berbahasa akan dikerjakan lagi dan bila tidak sedikit demi sedikit akan ditinggal.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya.Mereka berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (Stimulus-respons) dan proses peniruan-peniruan.
Berdasarkan pandangan behaviorisme ini, kebiasaan lama masuk ke dalam cara belajar kebiasaan baru. Oleh karena itu, dalam pembelajaran B2 munculnya interferensi diprediksikan besar sekali. Alat-alat gramatika B1 yang telah terprogram akan menginterferensi secara mudah pada pemerolehan B2 (Bright & Mc Gregor dalam Ellis, 1986:22).
2.1.2 Pandangan Nativisme
Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir.Pandangan ini berlawanan dengan empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan.
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran.Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati.
Pandangan kaum behaviorisme tentang bagaimana manusia belajar bahasa mendapat serangan yang tajam dari Chomsky.Serangan Chomsky (1959) pada Verbal Behavior karya Skinner (1957) tertuju pada dasar-dasar psikologis teori belajar bahasa yang digunakan kaum behavioris (Ellis, 1986:23).Baginya suatu teori belajar bahasa harus ditarik dari teori belajar behaviorisme yang umum (Van Eis et al., 1987:28; Hamid, 1987:14). Menurut Chomsky, pemerian stimulus eksternal dan respon yang sesuai, tetapi pemerian itu terutama harus merupakan pemerian tentang kemampuan bawaan manusia untuk belajar bahasa (Walkins, 1987:169).
Menurut pandangan mentalis, pemerolehan bahasa merupakan proses yang universal. Istilah proses mengacu pada dua arti: (1) urutan perkembangan dan (2) faktor-faktor yang menentukan bagaimana pemerolehan itu berlangsung. Umumnya, penelitian pemerolehan B1 menemukan adanya urutan yang kurang lebih tertentu yang harus dilalui anak dalam rangka menguasai kompetensi bahasa orang dewasa. Dalam hal inilah proses mengacu kepada tahap-tahap perkembangan yang diikuti anak.
Pada arti yang kedua, proses berhubungan dengan bagaimana anak menyusun kaidah bahasa dan bagaimana mengaturnya dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Pandangan mentalis menegaskan bahwa proses-proses itu adalah internal dan beroperasi secara independen, yang terlepas dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri.nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia kan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia.Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai berikut:
(1) Bahasa merupakan kemampuan khusus manusia;
(2) Keberadaannya tidak terikat oleh “otak” atau akal budi manusia (human mind) karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual;
(3) Faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD), yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak;
(4) LAD itu berhenti perkembangannya karena usia;
(5) Proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pembelajar dengan universal grammar.

2.1.3 Pandangan Interaksionisme
Pemerolehan bahasa menurut kaum mentalis, terlepas dari pengaruh lingkungan. Proses pemerolehan bahasa adalah internal dan beroperasi secara independen. Perbedaan yang tajam di antara behavorisme dan navitisme juga memperlihatkan adanya beberapa kelemahan pada keduanya.Karena itu, beberapa pemikir pembelajaran bahasa berdiri pada kubu keduanya.Pandangan yang ketiga inilah yang dikenal dengan pandangan interaksionisme.Kaum ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986:129). Interaksi keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.
Baradja (1990b:6) mengungkapkan bahwa penganut aliran interaksionisme beranggapan terjadinya penguasaan bahasa, B1 maupun B2, adalah berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimiliki pebelajar. Lebih jauh, diungkapkan bahwa seorang anak yang sejak lahir sudah menguasai bahasa tertentu tanpa dihadirkannya masukan yang sesuai untuk keperluan itu.
Dari beberapa penelitian pemerolehan B2 terungkap bahwa yang terpenting bagi pebelajar bukan system B2, melainkan apa yang dapat digunakannya dengan B2 itu untuk berinteraksi dengan orang lain. Yulianto (1994) mengidentifikasi adanya faktor internal, yang berupa kaidah Jepang, Amerika, dan Thailand di Surabaya International School, yang berbeda-beda itu sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi memengaruhhi pemerolehan bahasa Indonesia pebelajar tersebut.
Pada penelitian lainnya, Yulianto (2001) menemukan adanya interaksi kedua faktor tersebut.Dalam perkembangan fonologis tuturan anak, Yulianto (2001) mengungkapkan pada kenyataannya bunyi bahasa yang dihasilkan anak didasarkan kepada kematangan yang bersifat internal.Rangsangan yang datang dari luar, seperti bunyi /r/ ternyata tidak mampu mebentuk anak agar mengujarkan bunyi tersebut.Hal itu memperkuat dugaan bahwa faktor lingkungan tidak berperan.Namun, dipeoleh data bahwa faktor lingkungan tidak berperan.Namun, diperoleh data bahwa sruktur kebahasaan yang dihasilkan anak juga dipengaruhi oleh lingkungan bahasa tempat anak memperolehnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa faktor internal, yang merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh.Namun, faktor lingkungan juga berperan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon.Yulianto juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo yang mengungkapkan bahwa faktor bahasa anak.Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:126).
Pendekatan interaksionisme ini oleh van Els et al.(1987) disebut sebagai pendekatan procedural. Lebih jauh, van Els et al. (1987:31) mengungkapkan dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral.Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya.Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai system prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.Pendekatan procedural semacam ini dapat digambarkan di bawah ini.






Gambaran bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.Masukan data linguistik utama anak (child’s primary linguistic data) diolah oleh pengatur kognitif (cognitive organizer).Dari sinilah muncul perilaku bahasa (child’s language behavior) sebagai keluarnya.Dengan demikian, terlihat peran faktor eksternal, yang dalam hal ini child’s primary linguistic data sebagai masukan dan factor internal cognitive organizer.
Yang mirip dengan pendekatan procedural ini adalah model konstruksi kreatif dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan oleh Dulay et al (1982). Seperti berikut:









Bagan di atas menggambarkan bahwa bila pelajar dihadapkan kepada bahasa baru, muncullah rintangan internal yang berupa keadaan emosi dan motivasi individu pembelajar. Sumber penyaring lainnya adalah derajat semangat, identifikasi teman, dan motivasi umum untuk belajar bahasa. Semua sumber ini secara bersam-sama membentuk apa yang disebut dengan saringan afektif (affective filter) atau saringan (filter) saja. Sebagai proses internal pertama, filter ini bertugas mengontrol masukan yang berasal dari lingkungan bahasa.
Sekali bahasa yang masuk itu melewati filter, ia akan mencapai dua pemroses yang lain, yaitu pengatur atau pengorganisasi dan pemantau. Dalam proses internal kedua ini, begitu benak mulai membawa masuk sebagaian B2, ia mengorganisasikannya dengan cara tertentu yang menghasilakan urutan umum struktur gramatikal bahasa yang dipelajari, yaitu struktur gramatikal bahasa yang dipelajari, yaitu dalam bentuk kesalahan yang sistematis yang dibuatnya dalam bentuk konstruksi sementara yang dipakainya. Proses internal ketiga adalah pemantau, yaitu sejenis penyuntingan diri. Orang yang sangat cenderung memperhatikan “penampilan linguistik” akan menggunakan kaidah-kaidah secara tertib dalam memproduksi kalimat-kalimatnya. Fungsi monitor dalam hal ini sangat besar. Sebaliknya, orang yang mempentingkan arti komunikasi tidak akan malu-malu membuat kesalahan. Peranan monitor dalam hal yang demikian ini akan lebih kecil.
Ketiga proses internal di atas dipengaruhi oleh kepribadian dan usia pembelajar. Factor-faktor ini akan dapat menghalangi atau meningkatkan aktifitas. Pembelajar yang memiliki kepribadian yang acuh tak acuh mungkin lebih sedikit menyaring bahasa daripada mereka yang kurang percaya diri. Orang dewasa mungkin akan mengatur bahasa lebih banyak daripada anak kecil. Di samping itu, B1 juga ikut memengaruhinya meskipun berdasarkan banyak penelitian, seperti yang telah diuraikan di depan. Pengaruhnya hanya sedikit terhadap pemerolehan B2.

2.2 APLIKASI PANDANGAN-PANDANGAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
2.2.1 Aplikasi Pandangan Behaviorisme
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari.Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan.Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar.Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Teori belajar behavioristik dengan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative.Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) belajar berkat insight (4) belajar berkat insight; dan (5) belajar berdasarkan pengalaman.
Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian.Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.
Prinsip anak yang belajar merupakan keseluruhan mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.
Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta.Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu.

2.2.2 Aplikasi Pandangan Nativisme
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860)).Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahn dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri.Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik.Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi juga bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.
2.2.3 Aplikasi Pandangan Interaksionisme
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik.Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.

















BAB III
SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar bahasa dapat ditinjau dari berbagai teori yang kesemuanya masuk akal. Yang terpenting bagi pembelajar dengan adanya teori-teori tersebut dapat membantu kesulitan bagi orang-orang yang sedang belajar bahasa sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka seperti yang diharapkan.

PANDANGAN ATAU PAHAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan, tulisan maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan
kontrak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku.Adakalanya seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dalam bahasa yang baik.
Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut.Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat alamiah (nature), dan pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa bersifat “suapan” (nurture). Pandangan ketiga adalah pandangan interaksionisme.Kaum ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa.
Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam.Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi.Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik.Menurut Mc lauglin dalam (Hadley: 43, 1993) Fungsi teori adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai. Ellis menyatakan bahwa setiap guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu.
Teori mempunyai fungsi yaitu: 1) Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin.
2) Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah ada. 3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan supaya terjadi. Teori berhubungan dengan belajar. Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PANDANGAN ATAU PAHAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
2.1.1 Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan.Padahal bahasa itu merupakan salah satunperilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajarannya harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan (Brown, 1987:17).Pembelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkungan bahasa dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangannya.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu.Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh factor di luar dirinya.
Menurut Skinner (dalam Baradja, 1990:31—32), perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, yaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Inilah yang dikatakan belajar sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku. Bila menyenangkan perilaku berbahasa akan dikerjakan lagi dan bila tidak sedikit demi sedikit akan ditinggal.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya.Mereka berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (Stimulus-respons) dan proses peniruan-peniruan.
Berdasarkan pandangan behaviorisme ini, kebiasaan lama masuk ke dalam cara belajar kebiasaan baru. Oleh karena itu, dalam pembelajaran B2 munculnya interferensi diprediksikan besar sekali. Alat-alat gramatika B1 yang telah terprogram akan menginterferensi secara mudah pada pemerolehan B2 (Bright & Mc Gregor dalam Ellis, 1986:22).
2.1.2 Pandangan Nativisme
Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir.Pandangan ini berlawanan dengan empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan.
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran.Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati.
Pandangan kaum behaviorisme tentang bagaimana manusia belajar bahasa mendapat serangan yang tajam dari Chomsky.Serangan Chomsky (1959) pada Verbal Behavior karya Skinner (1957) tertuju pada dasar-dasar psikologis teori belajar bahasa yang digunakan kaum behavioris (Ellis, 1986:23).Baginya suatu teori belajar bahasa harus ditarik dari teori belajar behaviorisme yang umum (Van Eis et al., 1987:28; Hamid, 1987:14). Menurut Chomsky, pemerian stimulus eksternal dan respon yang sesuai, tetapi pemerian itu terutama harus merupakan pemerian tentang kemampuan bawaan manusia untuk belajar bahasa (Walkins, 1987:169).
Menurut pandangan mentalis, pemerolehan bahasa merupakan proses yang universal. Istilah proses mengacu pada dua arti: (1) urutan perkembangan dan (2) faktor-faktor yang menentukan bagaimana pemerolehan itu berlangsung. Umumnya, penelitian pemerolehan B1 menemukan adanya urutan yang kurang lebih tertentu yang harus dilalui anak dalam rangka menguasai kompetensi bahasa orang dewasa. Dalam hal inilah proses mengacu kepada tahap-tahap perkembangan yang diikuti anak.
Pada arti yang kedua, proses berhubungan dengan bagaimana anak menyusun kaidah bahasa dan bagaimana mengaturnya dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Pandangan mentalis menegaskan bahwa proses-proses itu adalah internal dan beroperasi secara independen, yang terlepas dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri.nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia kan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia.Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai berikut:
(1) Bahasa merupakan kemampuan khusus manusia;
(2) Keberadaannya tidak terikat oleh “otak” atau akal budi manusia (human mind) karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual;
(3) Faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD), yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak;
(4) LAD itu berhenti perkembangannya karena usia;
(5) Proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pembelajar dengan universal grammar.

2.1.3 Pandangan Interaksionisme
Pemerolehan bahasa menurut kaum mentalis, terlepas dari pengaruh lingkungan. Proses pemerolehan bahasa adalah internal dan beroperasi secara independen. Perbedaan yang tajam di antara behavorisme dan navitisme juga memperlihatkan adanya beberapa kelemahan pada keduanya.Karena itu, beberapa pemikir pembelajaran bahasa berdiri pada kubu keduanya.Pandangan yang ketiga inilah yang dikenal dengan pandangan interaksionisme.Kaum ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986:129). Interaksi keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.
Baradja (1990b:6) mengungkapkan bahwa penganut aliran interaksionisme beranggapan terjadinya penguasaan bahasa, B1 maupun B2, adalah berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimiliki pebelajar. Lebih jauh, diungkapkan bahwa seorang anak yang sejak lahir sudah menguasai bahasa tertentu tanpa dihadirkannya masukan yang sesuai untuk keperluan itu.
Dari beberapa penelitian pemerolehan B2 terungkap bahwa yang terpenting bagi pebelajar bukan system B2, melainkan apa yang dapat digunakannya dengan B2 itu untuk berinteraksi dengan orang lain. Yulianto (1994) mengidentifikasi adanya faktor internal, yang berupa kaidah Jepang, Amerika, dan Thailand di Surabaya International School, yang berbeda-beda itu sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi memengaruhhi pemerolehan bahasa Indonesia pebelajar tersebut.
Pada penelitian lainnya, Yulianto (2001) menemukan adanya interaksi kedua faktor tersebut.Dalam perkembangan fonologis tuturan anak, Yulianto (2001) mengungkapkan pada kenyataannya bunyi bahasa yang dihasilkan anak didasarkan kepada kematangan yang bersifat internal.Rangsangan yang datang dari luar, seperti bunyi /r/ ternyata tidak mampu mebentuk anak agar mengujarkan bunyi tersebut.Hal itu memperkuat dugaan bahwa faktor lingkungan tidak berperan.Namun, dipeoleh data bahwa faktor lingkungan tidak berperan.Namun, diperoleh data bahwa sruktur kebahasaan yang dihasilkan anak juga dipengaruhi oleh lingkungan bahasa tempat anak memperolehnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa faktor internal, yang merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh.Namun, faktor lingkungan juga berperan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon.Yulianto juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo yang mengungkapkan bahwa faktor bahasa anak.Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:126).
Pendekatan interaksionisme ini oleh van Els et al.(1987) disebut sebagai pendekatan procedural. Lebih jauh, van Els et al. (1987:31) mengungkapkan dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral.Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya.Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai system prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.Pendekatan procedural semacam ini dapat digambarkan di bawah ini.






Gambaran bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.Masukan data linguistik utama anak (child’s primary linguistic data) diolah oleh pengatur kognitif (cognitive organizer).Dari sinilah muncul perilaku bahasa (child’s language behavior) sebagai keluarnya.Dengan demikian, terlihat peran faktor eksternal, yang dalam hal ini child’s primary linguistic data sebagai masukan dan factor internal cognitive organizer.
Yang mirip dengan pendekatan procedural ini adalah model konstruksi kreatif dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan oleh Dulay et al (1982). Seperti berikut:









Bagan di atas menggambarkan bahwa bila pelajar dihadapkan kepada bahasa baru, muncullah rintangan internal yang berupa keadaan emosi dan motivasi individu pembelajar. Sumber penyaring lainnya adalah derajat semangat, identifikasi teman, dan motivasi umum untuk belajar bahasa. Semua sumber ini secara bersam-sama membentuk apa yang disebut dengan saringan afektif (affective filter) atau saringan (filter) saja. Sebagai proses internal pertama, filter ini bertugas mengontrol masukan yang berasal dari lingkungan bahasa.
Sekali bahasa yang masuk itu melewati filter, ia akan mencapai dua pemroses yang lain, yaitu pengatur atau pengorganisasi dan pemantau. Dalam proses internal kedua ini, begitu benak mulai membawa masuk sebagaian B2, ia mengorganisasikannya dengan cara tertentu yang menghasilakan urutan umum struktur gramatikal bahasa yang dipelajari, yaitu struktur gramatikal bahasa yang dipelajari, yaitu dalam bentuk kesalahan yang sistematis yang dibuatnya dalam bentuk konstruksi sementara yang dipakainya. Proses internal ketiga adalah pemantau, yaitu sejenis penyuntingan diri. Orang yang sangat cenderung memperhatikan “penampilan linguistik” akan menggunakan kaidah-kaidah secara tertib dalam memproduksi kalimat-kalimatnya. Fungsi monitor dalam hal ini sangat besar. Sebaliknya, orang yang mempentingkan arti komunikasi tidak akan malu-malu membuat kesalahan. Peranan monitor dalam hal yang demikian ini akan lebih kecil.
Ketiga proses internal di atas dipengaruhi oleh kepribadian dan usia pembelajar. Factor-faktor ini akan dapat menghalangi atau meningkatkan aktifitas. Pembelajar yang memiliki kepribadian yang acuh tak acuh mungkin lebih sedikit menyaring bahasa daripada mereka yang kurang percaya diri. Orang dewasa mungkin akan mengatur bahasa lebih banyak daripada anak kecil. Di samping itu, B1 juga ikut memengaruhinya meskipun berdasarkan banyak penelitian, seperti yang telah diuraikan di depan. Pengaruhnya hanya sedikit terhadap pemerolehan B2.

2.2 APLIKASI PANDANGAN-PANDANGAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
2.2.1 Aplikasi Pandangan Behaviorisme
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari.Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan.Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar.Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Teori belajar behavioristik dengan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative.Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) belajar berkat insight (4) belajar berkat insight; dan (5) belajar berdasarkan pengalaman.
Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian.Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.
Prinsip anak yang belajar merupakan keseluruhan mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.
Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta.Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu.

2.2.2 Aplikasi Pandangan Nativisme
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860)).Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahn dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri.Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik.Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi juga bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.
2.2.3 Aplikasi Pandangan Interaksionisme
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik.Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.

















BAB III
SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar bahasa dapat ditinjau dari berbagai teori yang kesemuanya masuk akal. Yang terpenting bagi pembelajar dengan adanya teori-teori tersebut dapat membantu kesulitan bagi orang-orang yang sedang belajar bahasa sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka seperti yang diharapkan.
Semoga pertanyaan tentang "bagaimana siswa kita dapat belajar bahasa dengan lancar?" terjawab sudah lewat pendekatan yang mengacu kepada teori yang di kemukakan di atas.



Tidak ada komentar: