Cari Blog Ini

Sabtu, 02 Maret 2013

Karya Sastra sebagai Suatu Teks

BAB III
Karya Sastra sebagai
Suatu Teks



M
empelajari dengan seksama hasil karya sastra secara ilmiah disebut ilmu sastra. Objek ilmu sastra adalah sekelompok teks tertentu. Dapat dikatakan bahwa seharusnya ilmu sastra merupakan cabang ilmu teks pada umumnya. Akan tetapi , ilmu ini baru dikembangkan sedangkan ilmu sastra mengandalkan tradisi yang lama sehingga lebih maju dalam penelitiannya. Dalam bidang penelitian ilmu sastra baru-baru ini timbul permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat teks pada umumnya , jadi tidak hanya khusus dengan sifat-sifat teks sastra. Bab ini akan membahas:

1.    ciri-ciri teks
2.    tinjauan teks  dalam rangka fungsinya; teks ditinjau sebagai pesan-pesan di dalam situasi komunikasi
3.    fungsi teks
4.    sarana-sarana yang dapat dipergunakan pengarang teks untuk mencapai tujuan

1.    Ciri-ciri Teks

Apakah yang disebut teks? Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut pragmatik, sintatik, dan semantik/isi merupakan suatu kesatuan. Dalam praktik ilmu sastra, kita membatasi diri pada teks tertulis dengan alasan agar praktis. Secara teoritis, ungkapan bahasa lisan pun, asal merupakan suatu kesatuan, termasuk teks. Kesatuan dibatasi menurut tiga aspek berikut.
Pragmatik ialah bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu. Adapun yang dimaksud atau disebut pragmatik yaitu pengetahuan mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa digunakan dalam suatu konteks. Istilah ini tidak  sinonim dengan praktis seperti yang dimaksudkan dalam penggunaaan bahasa sehari-hari. Secara sintatik sebuah teks harus memperlihatkan keburuntutan dan harus relevan. Hal ini antara lain tampak bila unsur-unsur penunjuk secara konsisten di pergunakan. Perhatikanlah contoh berikut:

Adik  memdapat hadiah pada hari ulang tahunnya. La merasa bahagia dan bergembira.

Kata ia pada kalimat kedua mengacu pada adik pada kalimat pertama. Kalau tidak, maka tidak ada kebertautan dan kita menghadapi dua kalimat yang lepas satu sama lain dan bukan satu (fragmen) teks. Kebertautan ini memang wajar sehingga acapkali tidak kita sadari dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Apalagi bila pemancar (pembicara) dan penerima (pendengar) berada dalam situasi yang sama dengan keuntungan (kelebihan) penggunaan bahasa secara lisan. Secara tidak sadar kita menggunakan kriterium ini bila kita memahami ungkapan-ungkapan bahasa. Andaikata ini tidak terjadi, maka penggunaan bahasa jadi lebih menyusahakan. Segala pertalian harus dieksplisitkan.
Kesatuan semantik  (isi) yang dituntut sebuah teks adalah tema global yang melingkupi semua unsure. Tema menunjukan gagasan dasar dan tujuan utama penulisan sebuah teks. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya.
Isi dalam teks sangat berkaitan dengan semantik. Semantik merupakan salah satu kajian dalam bahasa yang berkaitan dengan makna. Isi dalam teks tidak ubahnya adalah makna-makna yang disampaikan pengarang. Pengungkapan makna ini dapat dilakukan secara terang-terangan, lugas, jelas maupun dengan tersembunyi melalui simbol-simbol. Berkaitan dengan makna dalam teks, Luxemburg, et.al. (1992:88) menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks ialah tema global yang melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya. Meskipun demikian, menunjukkan tema saja belumlah memadai.  Masih diperlukan penafsiran menyeluruh untuk menelaah sebuah  teks sebagai satu kesatuan. Hal ini terkait dengan keberadaan sebuah cerita maupun puisi yang merupakan satu kesatuan ide/gagasan.
Kedua adalah sintaksis. Sintaksis dalam tatabahasa diartikan sebagai tatakalimat. Secara sintaksis sebuah teks harus memperlihatkan pertautan. Pertautan itu akan tampak apabila unsur-unsur dalam tatabahasa yang berfungsi sebagai penunjuk (konjungsi) secara konsisten dipergunakan. Dalam hal ini dapat kita simak melalui penceritaan berikut.
“Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa.” (Tohari, 2005:60—61)
Pada  kutipan di atas, konjungsi yang berupa kata ganti “kamu” sangat dominan dalam cerita di atas. Keberadaan kata ganti “kamu” pada kalimat satu, dua, tiga, empat, enam, tujuh, dan delapan menunjukkan bahwa antarkalimat dalam penceritaan di atas sangat koheren. Hal ini sangat memudahkan pembaca untuk menelaah karya sastra tersebut. Bahkan untuk memudahkan pemahaman digunakan pula bentuk klitik “mu” (sebagai bentuk singkat dari kata “kamu”). Penggunaan itu terlihat pada  kata “suamimu” dalam kalimat kelima dan keenam; kata “pihakmu” pada kalimat kedelapan. Penggunaan kata ganti tersebut sangat dieksplisitkan (jelas). Tentu tidak dapat dibayangkan susahnya memahami hubungan antarkalimat apabila konjungsi yang menunjukkan koherensi antarkalimat diimplisitkan (samar-samar atau tersembunyi).
Penggunaan kata ganti sebagai konjungsi juga dapat ditemukan dalam puisi. Seperti halnya dalam cerita, keberadaan kata ganti ini juga lebih memudahkan untuk memahami puisi. Simaklah puisi Rendra (1993:13) berikut ini.
Nyanyian Suto untuk Fatima
Dua puluh tiga matahari
bangkit dari pundakmu.
Tubuhmu menguapkan bau tanah
dan menyalalah sukmaku.
Langit bagai kain tetoron yang biru
terbentang
berkilat dan berkilauan
menantang jendela kalbu yang berdukacita.
Rohku dan rohmu
bagaikan proton dan electron
bergolak
bergolak
di bawah duapuluhtiga matahari.
Dua puluh tiga matahari
membakar dukacita.
Meskipun pada setiap larik puisi di atas tidak ditemukan kata Suto dan Fatima, tetapi sangatlah mudah bagi kita untuk memahami teks puisi di atas dengan memperhatikan klitik yang terdapat pada teks di atas. Klitik “ku” merupakan kata ganti dari Suto, sedangkan klitik “mu” merupakan kata ganti dari Fatima.
Begitulah pentingnya sintaksis dalam sebuah teks. Yang terpenting adalah kekonsistenan dari konjungsi sehingga tidak merancukan kalimat-kalimat yang membangun cerita atau kosakata, parafrase, ataupun kalimat yang membangun puisi. Dua kutipan di atas, baik cerita maupun puisi menunjukkan kekonsistenan dari konjungsi — kata ganti dan klitika — yang digunakan.
Ketiga adalah pragmatik. Pragmatik berkaitan dengan situasi atau keadaan bahasa yang digunakan dalam keadaan tertentu. Dalam hal ini, Luxemburg, et.al. (1992:87) mengungkapkan bahwa pragmatik bertalian dengan bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks sosial tertentu; teks merupakan suatu kesatuan bilamana ungkapan bahasa oleh para peserta komunikasi dialami sebagai suatu kesatuan yang bulat. Lebih lanjut dikatakannya bahwa  pragmatik merupakan ilmu mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks tertentu.  Hal yang diungkapkan Luxemburg tersebut bertalian erat dengan ketuntasan dalam memahami sebuah teks. Makna kesatuan bulat mengarah pada keutuhan dari sebuah teks. Membaca teks merupakan satu tindakan atau kegiatan yang dimulai dari bagian awal hingga bagian akhir dari sebuah teks, yaitu: “selesai” atau “tamat”. Sebuah contoh, apabila kita membaca novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang ditulis Dewi Lestari maka kegiatan yang kita lakukan adalah membaca keseluruhan dari teks novel ini. Mulai membaca bagian Cuap-cuap Penerbit, Cuap-cuap Penulis, Bagian Daftar Isi, isi keseluruhan novel yang terdiri atas 33 keping subjudul, hingga Komentar Nonpakar yang merupakan akhir dari teks novel ini. Begitu halnya kalau kita membaca puisi, cerpen, maupun drama maka keselurahan dari teks tersebut harus kit abaca dengan saksama. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang tepat tentang isi atau garis besar dari penceritaan tersebut.
Begitu halnya apabila kita bertindak sebagai pengarang. Yang kita lakukan adalah mengarang dengan sistematika yang tepat. Sistematika yang menjelaskan bagian awal, bagian inti atau isi, kemudian bagian akhir sebagai pertanda bahwa teks yang kita buat telah selesai atau berakhir. Keteraturan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya harus ditunjukkan secara tepat. Begitu halnya dengan bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tersusun atas deretan kata, gabungan kata, dan atau kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca.


2.    Tinjauan Teks  dalam Rangka fungsinya;
Teks Ditinjau sebagai Pesan-pesan dalam Situasi
Komunikasi

          Dalam situasi komunikasi, untuk memami atau menyadarinya, ada enam factor yagn menentukan fungsi sebuah teks. Pemancar sebagai factor pertama mengirimkan pada penerima (sebagai factor kedua) sebuah pesan(factor ketiga). Mungkin dampaknya sama dengan tujuannya (yaitu supaya terhibur), namun tidak selalu demikian. Dampak pesan dan tujuan tidak sama, namun ada komunikasi yang kuat.
Faktor keempat ialah konteks, context(kenyataan), yaitu yang diacu oleh pesan. Setiap ungkapan bahasa, juga sebuah teks, mengacu pada sesuatu. Apa yang diacu oleh teks merupakan bagian gambaran mengenai dunia yang yang ada dalam angan-angan kita. Ini tidak berarti bahwa isi teks bersifat riil, sedangkan teksnya realistik. Konteks terdiri dari bayanagn kita mengenai pola kejadian dalam dalam dunia itu(dunia seperti tampak pada saat tertentu) secara sinkron, bila dilihat dalam teks dilukiskan dengan motif-motif statik.
Adapun faktor kelima ialah kode (perwujudan pesan), yaitu tanda-tanda yang merupakan  suatu system. Kode-kode primer (pertama-tama) Yang berlaku bagi teks ialah kode bahas yang dinyatakan dengan bahasa yang dipakai untuk mengutarakan teks yang bersangkutan dan kode bahasa yang terdapat dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks tersusun dalam kode lain, yaitu kode sekunder, sebab bahannya merupakan kode primer, yaitu bahasa.
Kontak adalah factor keenam. Para peserta dalam sebuah wawancara harus dapat saling mendengarkan agar terjadi komunikasi lisan. Adapun mengenai teks dalam arti terbatas, yaitu teks tertulis, maka syarat utma ialah supaya  dapat dibaca dengan cukup mudah.
Perbedaan utama komunikasi lisan dan komunikasi tertulis ialah resepsi yang diperlambat. Akhirnya, dalam proses komunikasi itu teks merupakan pesan, yaitu sejumlah tanda yang menunjuk kepada arti-arti, bagaimana berbagai factor di dalam proses komunikasi diterapkan dalam teks.      

3.    Fungsi Teks


Teks-teks yang ada dapat dibagi kedalam berbagai jenis. Dalam teori komunikasi pembagian dipilih menurut fungsi. Fungsi ialah keseluruhan sifat yang bersama-sama menuju tujuan yang sama serta bagaimana dampaknya. Kadang-kadang kita hanya dapat mengandalkan pengalaman pengalaman sendiri dalam membaca. Dalam pembagian teks, kita harus membatasi diri pada fungsi-fungsi utama meskipun fungsi samping juga  tidak bias diabaikan.
Teks mengunkapkan sesuatu tentang dunia nyata atau dunia yang mungkin ada. Di dalam teks pembaca mungkin mendapati kenyataan yang sebenarnya (real) atau  mungkin kenyataan mungkin ada (fictional). Itulah fungsi utama teks, yakni mengatakan tentang sesuatu.

a.    Teks Acuan
Sebuah teks baru disebut referensial acuan kalau fungsi utama menyatakan sesuatu mengenai atau mengacu pada konteks, yaitu dunia rill atau dunia yang mungkin ada

    Teks Informatif
Teks jenis ini hanya mengaitkan berita factual tanpa ulasan meskipun tidak ada teks yanga informatif saja sebab pemulihan dalam hal fakta dan cara dikomunikasikan memengaruhi informasi. Misalnya, warta berita tidak hanya merupakan informasi murni sebab ada pengaruh situai politik dalam negara itu dan sedikit banyak mengandung ulasan, secara implisit atau eksplosit.
  
    Teks Diskursif
Teks jenis ini hanya mengaitkan fakta secara nalar. Juga tipe ini jarang kita jumpai secara murni. Contoh teks diskursif ialah uraian ilmiah.

    Teks Instruktif
Maksud isi jenis teks ini supaya pengetahuan atau keterampilan pembaca secara sistematik diperluas; fakta yang disampaikan dipilih dengan maksud tertentu. Yang termasuk jenis ini ialah buku pegangan, buku pelajaran, dan buku petunjuk.

b.    Teks Ekspresif
Teks ekspresif ialah bila fungsi utama mengungkapkan perasaan, pertimbangan, dan sebagainya dalam diri pengarang. Contohnya seperti puisi lirik tetapi tidak semua bentuk puisi dapat digolongkan dan sejumlah teks prosa bersifat ekspresif seperti surat cinta.
  
c.    Teks Persuasif
Fungsi utama teks persuasif ialah memengaruhi pendapat, perasaan, dan pembuatan pembaca. Dalam dunia iklan, pendidikan, pengajaran, dan pers, teks persuasive sering atau hampir setiap hari kita jumpai. Teks ini dibagi dua jenis, yaitu:

    Teks Evulatif
Teks ini berfungsi untuk memengaruhi pendapat dan perasaan pembaca, misalnya, resensi buku.

    Teks Direktif
Teks ini berfungsi untuk memengaruhi kelakuan pembaca. Teks-teks direktif sering bersifat evaluatif.

Teks-teks semacam ini dapat dinilai secara isi/semantic atau menurut strateginya; bila isi teks tidak menyenangkan pembaca, penilaiannya akan bersifat negatif meskipun tidak tentu  berarti bahwa teks itu secara kualitatif juga buruk.

d.    Teks Mengenai Teks
Ada teks yang fungsi utamanya mengadakan refleksi tentang teks lain. Dalam teks sering terjadi bahwa bahan utama sebuah teks ialah teks itu sendiri. Teks mengenai bahasa disebut metabahasa (meta dalam bahasa Yunani yang berarti ‘mengenai’ atau ‘perihal’). Banyak sajak yang dapat disebut metapuisi.

e.    Teks yang Berfungsi Sosial
Dalam sastra, teks yang berfungsi social jarang kita dapati. Akan tetapi, ada bagian-bagian teks, kalimat, atau dialog singkat yang mempunyai fungsi social. Banyak ungkapan yang sebetulnya mempunyai fungsi lain diucapkan untuk menjalin kontrak, misalnya pada kalimat seperti ”Apa kabar, ke mana?” sebetulnya si pembicara tidak ingin tahu kabar atau mau ke mana seseorang yang disapanya akan pergi, tetapi ingin menjalin kontak social.
 
f.    Teks-teks Sastra
Suatu teks disebut teks sastra bila sekelompok pembaca, termasuk pmbaca peneliti, menilai karya itu sebagai hasil sastra. Ada pendapat yang mengatakan bahwa unsure foregrounding, yakni menekankan teks itu sendiri sebagai ciri khas sastra dan isi atau fungsi referensial, diikut sertakan. Isinya harus pantas dibaca, menarik, bersifat baik secara moral; atau khas, bersifat sastra konvensional.


4.    Sarana-sarana yang Dapat Digunakan Pengarang
Teks untuk Mencapai tujuan:  Beberapa Garis
Retorika

Tujuan pengarang dan dampak terhadap pembaca bertemu menjadi satu dalam fungsi sebuah teks. Bagi ilmu sastra, retorika lebih berfaedah dari pada ilmu argumentasi. Menurut asal-usulnya, retorika adalah ilmu untuk menyusun suatu uraian yang tepat dan mencapai sasaran, tetapi sekarang tidak demikian karena sudah merosot..
Sejak dahulu cabang retorika mengenal dua cabang:

1.    Cabang instruktif, yaitu bagaimana menyusun teks yang baik
2.    Cabang informatif, yaitu yang melukiskan bagaimana teks ini disusun, secara khusus cabang ini relevan bagi ilmu sastra.

Retorika adalah ars bene dicendi, yaitu kepandaian mengatakan sesuatu secara baik yang pada awalnya terutama mengacu kepda pengertian kepandaian orator(ahli pidato), tetapi yang juga meliputi pemakaian dalam sastra.
Menurut terotika klasik, teks-teks nonsastra terdiri dari bagian tetap yang tidak berubah. Bagian-bagian itu mempunyai isi dan fungsinya sendiri, yaitu:

1.    Exordium atau awal, yakni melukiskan situasi, alasan, atau tujuan yang bersangkutan. Dalam exordium ini diterangkan tema teks. Dalam teks persuasive, misalnya ada janji-janji. Fungsi exordium ialah meminta perhatian bagi permasalahan. Pembaca dibujuk untuk membaca karangan yang bersangkutan sampai selesai. Misalnya, bila seseorang membaca novel, tetapi sudah dua tiga halaman ia merasa jenuh, maka dari segi ini novel itu gagal. Ada beberapa cara untuk memperoleh perhatian pendengar atau pembaca. Tema karangan dapat disajikan secara menyenangkan-delectare. Atau pengarang menjelaskan bahwa dengan membaca karangannya, pembaca akan  makin pandai dan pengetahuannya diperkaya-docere. Selain itu, pembicara atau pengarang dapat menggerakan hati pendengar atau pembaca-movere
2.    Narrativo ialah pemaparan fakta. Dalam teks informatif, informasi lengkap mengenai fakta , cerita, atau lukisan sebetulnya disebut confirmatio dan dalam teks diskursif argumentasi lengkap atau pokok disebut argumentatio. Narratio atau pemaparan fakta disusun berdasarkan fakta yang tersedia, persyaratannya atau dalil yang harus dibuktikan sesuai tema. Confirmatio atau argumentation ialah uraian pokok yang mengandung episode-episode atau argument.
3.    Peroratio sesudah narrativo/confirmatiol/argumentation, maka penutuonya adalah peroratio. Peroratio ialah pengajuan  simpulan mengenai dalil yang diuraikan, jawaban pertayaan yang meringkasargumentasi dan melaporkan akhir cerita, misalnya menikah dan berbahagia. Bagi penulisan sastra pun terdapat buku-buku pedoman yang disebut poetica dan di sini pun dibedakan berbagai tahap dalam proses penulisan, yakni sebagai berikut:
a.    Inrentio
b.    Disposition
c.    Elocution
d.    Action

Dewasa ini proses penulisan bagi setiap pengarang berjalan denan caranya sendiri. .Penulisan karya ilmiah pada prinsipnya mengikuti tahap-tahap ini, yaitu:
1.    Exordium (pembuka)
2.    Narrativo/confirmatio(pemaparan fakta)
3.    Peroratio (penutuu atau simpulan) 
Sedangkan bagi teks
  Sastra:
1.    Inventio
2.    Dispositio(bahan diatur dan diolah)
3.    Elucutio(bahan sudah diatur)
4.    Actio(bahan dibawakan)
Tiga tahap di atas (tanpa actio) berguna untukmembedakan aspek-aspek sebuah teks, yaitu kita temukan dalam membedakan isi.


5.    Gaya: Bagaimana Pengarang Menjabarkan
Beritanya

Gaya dianggap sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan pengarang untuk mencapai tujuan. Namun, dilihat dari sudut pembaca, gaya sebuah teks selalu memengaruhi dampak atau efek, jadi memengaruhi hubungan antara efek dan tujuan yang disebut fungsi. Secara garis besar ada dua pendapat: (1) pandangan monistik, yaitu pandangan yang betolak dari pendapat bahwa bentuk dan isi tidak dapat dipisahkan meskipun bisa untuk sementara; bila dianalisis dapat ditinjau secara terpisah. (2) Pandangan dualistik, yaitu pandangan yang bertolak dari pendapat bahwa isi sama, tetapi gayanya saja yang berbeda. Teori yang memandang gaya sebagai suatu penyimpangan juga dipandang sebagai dualistic.
Menurut pendapat umum, gaya adalah variasi. Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas pada sebuah teks dan yang menjadikan teks itu semacam individu jika dibandingkan dengan teks lain.
Pola gaya merupakan transformasi yang dialami struktur teks. Transformasi itu antara lain:

    Penambahan atau pengulangan
    Penukaran
    Penggantian
    Penghapusan

Empat jenis transformasi di atas dapat dikaitkan dengan sintaksis, semantik, dan bunyi (Luxemburg ,dkk 1984: 99-106)

MID TEORI SASTRA



OLEH :
NAMA        :     FACH RIZAL
NIM         :     A1D112012
KELAS        :    B

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA & DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

Tidak ada komentar: