Masyarakat
tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh msyarakat tutur lain, entah
karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan
dengan masyarakat tutur yang lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi
masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual.
Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya, yang mempunyai hubungan
dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak
bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya.
6.1
Bilingualisme
Istilah
biligualism (Inggris: bilingulism) dalam
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Secara harfiah istilah bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Kemampuan menggunakaan kedua bahasa itu
disebut bilingualitas.
Konsep
umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur
dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan
sejumlah masalah yang biasa dibahas
dalam bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (lihat juga Dittmar 1976 : 170)
:
(1) Sejauh
mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai
dengan
baik) sehingga dia dapa disebut sebagai eorang bilingual?
(2) Apa
yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini, apakah bahasa dalam
pengertian langue, atau sebuah kode sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau
sosiolek?
(3) Kapan
seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kaan dia
harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat
menggunakannya BI-nya atau B2-nya?
(4) Sejauh
mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-ya dapat
mempengaruhi B1-nya.
(5) Apakah
bilingualisme iu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum)
atau juga berlaku pada satu kelompok masyaraka tutur?
Untuk
dapat menjawab pertanyaan pertama, simak terlebih dahulu batasan-batasan
mengenai bilingualisme yang dberika oleh beberapa orang pakar. Blommfield dalam
bukunya Language (1933:56) mengatakan
bahwa bilingualisme adalah “kemampuan eorang penutur unutk menggunakan dua
bahasa dengan sama baiknya” Jadi, menurut Blomfield ini seseorang disebut
bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya.
Berkenaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitannya dengan menggunakan B2,
Diebold (1968 : 10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang
mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu
masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan
karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme selanjutnya.
Pengertian
bilingualisme akhirnya merupkan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1
(tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2,
ilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2
itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap
ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1
dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan dimana saja.
Pertanyaan
kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa
dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana? Mengutip pendapat Bloomfield mengenai
bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah
bahasa secara sama baiknya. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa
itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole,
yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut pakar lain, Weirinch (1968 : 1)
memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan
tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua buah bahasa
dapat berarti mebguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam bahasa yang
sama.
Dari
pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa dalam
bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti bahasa
Sunda
dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa
Pertanyaan
ketiga Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian?
kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula dia dapat secara bebas untuk
dapat menggunakannya B1-nya atau B2-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah
pokok sosioinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan
dan dengan tujuan apa”. B1 pertama dan terutama dapat digunakan dengan para
anggota msyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 adalah
penutur bahasa Sunda, maka dia akan dapat menggunakan bahasa Sunda dengan semua
anggota masyarakat tutur yang berbahasa Sunda, tentunya untuk keadaan dan
situasi yang memang dapt dilakukan dengan bahasa Sunda itu, seperti dalam
percakapan sehari-hari didalam keluarga dan untuk topik pembicaraan yang biasa.
Tetapi didalam pendidikan di sekolah meskipun si guru dan si murid sama-sama
ber-B1 bahasa Sunda dia tidak dapat menggunakan bahasa Sunda itu untuk alat
interaksi selama jam pelajaran berlangsung. Dalam hal ini bahasa Indonesialah
yang dapat digunakan sebab bahasa Indonesia, yang juga menjadi B2 bagi guru dan
murid-murid itu, adalah bahasa yang diberi fungsi untuk digunakan dalam situasi
resmi kenegaraan, seperti dalam proses belajar mengajar itu. Tetapi bagi
penutur bilingual yang B1-nya bahasa Sunda dan B2-nya bahasa Jawa hanya dapat
mengunakan B2-nya itu kepada anggota masyarakat tutur bahasa Jawa. Kapan harus
digunakan B1 dan kapan pula harus digunakan B2 tergantug pada lawan bicara, topik
pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini
tidaklah bebas. Dalam cacatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu
masyarakat tutur bilangual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu
bahasa yang terdapat ddala masyarakat tutur itu, yaitu di Monreal, Kanada.
Masalah
keempat yang dipertanyakan di atas menyangkut masalah sejauh mana B1-nya dapat
mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-ya dapat mempengaruhi B1-nya.
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu dan
kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap terhadap B1
lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas,
maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruh B2-nya. Seberapa jauh pengaruh
B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Mungkinkah B2
seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya? Kemungkinan itu akan ada
kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cuku lama tidak
menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.
Masalah
kelima yang dipertanyakan di atas adalah
apakah bilingualisme iu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep
umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyaraka tutur? Pertanyaan ini
menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan di dalam masyarakat
tutur bilingual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan
gejala bahasa, melainkan sifat pengguna bahasa yang dilakukan penutur bilingual
secara berganti-ganti. Mackey juga mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok
atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik
individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang
berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2 ; dan tidak
mengharuskan adanya masyarakat tutur yang bilingual. Berbeda dengan Mackey,
Oksaar (1972-478) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu,
tetapi juga milik kelompok. Mengapa? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak
terbatas antara individu-individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat
komunikasi antarkelompok. Malah bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja,
melainkan juga sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok (Charer 1994).
Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberikan peluang untuk
menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua
buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak
hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa wilaya yang sangat luas :
mungkin juga meliputi satu negara.
6.2
Diaglosia
Kata
diaglosia berasal dari bahasa Prancis
diglossie, yang pernah digunakan
Marcais, seorang linguis Prancis : tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam
studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dar Stanford Univesity,
yaitu C.A Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang “Urbanisasi dan
bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Askociation di Wasingthon DC. Kemudian
Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah terebut dalam artikelnya yang
berjudul “Diglosia” yang dimut dalam majalah Word tahun 1959.
Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Ferguson membicarakan diglosia dengan mengambil
contoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka
Pemerolehan.
Ragam T di peroleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal
tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Begitu juga mereka yang keluardari
pendidikan formal kelas-kelas awal. Mereka yang mempelajari ragam T hamper
tidak pernah menguasainya dengan lancar , selancar penguasaanya terhadap ragam
R. Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam mempelajarinya selalu
terkendali dengan berbagai kaidahdan aturan tata bahasa; sedangkan ragam R
digunaka n secara regular dan terus menerus didalam pergaulan sehari-hari.
Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik
kaidah-kaidah ragam T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut.
Sebaliknya, mereka yang tidak tahu atau tidak pernah memperhatikan
kaidah-kaidah tata bahasa ragam R, tetapi dengan lancar mereka dapat
menggunakan ragam tersebut.
Standarnisasi.
Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan
standarnisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
Kamus tata bahasa ,petunjuk lafal, dan buku –buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T.
Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang
menyinggung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut.
Stabilitas.kestabilan
dalam masyarakat diglosis biasanay berlansung lama dimana ada sebuah variasi
bahasa yangdipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. pertentangan
atauperbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu
ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang
memiliki cirri-ciri ragam T dan R. Peminjaman unsure leksikal ragam T ke dalam
ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsure leksikal ragam R dan ragam T
kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat trepan ksa.ks dengan
sejumlah konstruksi
Gramatika. Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam
R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun, di dalam
gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat
kompleks dengan sejumlah konstruksi
subordinasi adalah hal yang
biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artificial.
Leksikon.
Sebat gian besar kosa kata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasangan dalam ragam R atau sebaliknya.
Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang
berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya untuk
konsep-konsep yang sangat umum. Umpamanya, dalam bahasa Yunani “rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti;
“air” untuk ragam T adalah idhor dan
untuk ragam R adalah nero; dan
“anggur” untuk ragam T adalah inos sedangkan
untuk ragam R adalah krasi. Menurut
Ferguson dalam masyarakat diglosis hanya kosa kata ragam T yang bisa ditulis
secara formal; dan hanya ragam R yang
hanya diharapkan dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia
kita pun dapat mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku
dan tidak baku. Antara lain, uang dan
duit, buruk dan jelek, istri dan bini, dan kurus dan lempeng.
Fonologi .dalam
bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Fferguson
menyatakan system bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya merupakan sistem
tunggal; namun, Fonologi T merupakan
system dasar, sedangkan fonologi R, yang beragam-ragam, merupakan
subsistem atau parasistem. Fonologi lebih dekat dengan bentuk umum yang
mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari
bentuk-bentuk yang mendasar.
Ferguson
menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan /stabil dalam waktu
yang cukup lama meslipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya.
Tekanan-tekana itu antara lain, (1) meningkatkan kemapuan keaksaraan dan
meluaskan komunikasi verbal pada satu Negara; (2) meningkatkan penggunaan
bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah
bahasa nasional sebagai lambing kenasionalan suatu bangsa.
Juga
dipersoalkan ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau
ragam R. Menurut Ferguson para pendukung ragam T dan R tentu mempunyai
argumentasi untuk menentukan ragam mana yang cocok untuk menjadi bahasa
nasional tetapi biasanya ragam mana yang akan menang tidak mempunyai hubungan
dengan argument-argumen itu. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam
R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai di dalam
masyarakat; dan kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa
standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian
masyarakat , dan (2) apabla asyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat
lain. Jika teori Ferguson itu benar, maka bahasa Arab klasik tidak akan menjadi
bahasa nasional dinegara Arab mana pun, meskipun diberi nama bahasa nasional
atau bahasa resmi; dan ragam katherevusa akan menjadi bahasa nasional Yunani.
Menurut
Fisman (1972;92) diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan
ragam R pada bhasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama
sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi yang menjadi
tekanan bagi Fisman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi
bahasa yang bersangkutan.
Kalau
Ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan
ragam R dalam sebuah bahasa, maka Fisman melihat diglosia sebagai adanya
perbedaan fungsi, mulai dari dua buah bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya
termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa
secara fungsional (Fisman 1972).
Pakar
sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini
menjadi apa yang disebutkan broad
diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua
ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau
dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di
dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga munculnya apa
yang disebut pasold diglosia ganda
dalam bentuk yang disebut double
overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Yang
dimaksud dengan over lapping diglosia adalah adanya situasi
pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Sebagai contoh adalah
situasi kebahasaan di Tanzania, seperti
yang dilaporkan Abdulaziz Mkilifi dan dikutip oleh Fasold (1984). Di
Tanzania ada digunakan bahasa Inggris, bahasa Swahili, dan sejumlah bahasa
daerah. Pada situasi, bahasa Swahili adalah bahasa T dan yang menjadi bahasa
R-nya adalah sejumlah bahasa daerah. Pada situasi lain bahasa Swahili menjadi
bahasa R, sedangakan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Swahili
mempunyai status ganda: sebagai bahasa T terhadap bahasa Inggris.
Yang
dimaksud dengan double-nested diglosia
adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang
diperbedakan: satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R.
tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu
masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang masing-masing juga diberi status
sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di
Khalapur,sebuah desa di utara Delhi, India. Dalam masyarakat tutur Khalapur ada
dua bahasa, yaitu bahasa Hindi dan bahasa Khalapur, yaitu salah satu variasi
bahasA Hindi dengan sejumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon. Bahasa Khalapur dipelajari di rumah, dan
digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari. Sedangkan
bahasa Hindi dipelajari di sekolah, atau melalui warga yang bermukim di kota,
maupun melalui kontak luar, dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Khalapur
adalah masyarakat diglosis dengan bahasa Hindi sebagai bahasa T, dan bahasa
Khalapur sebagai bahasa R.
Untuk
menjelaskan yang dimaksud dengan linear
polyglosia Fasold mengemukakan hasil penelitian Platt (1977) mengenai
situasi kebahasaan masyarakat Cina di kedua Negara itu mempunyai verbal
repertoire yang terdiri dari bahasa Cina (yang antaranya dominan secara
regional), bahasa Inggris formal (dan berbagai jenis bahasa Inggris Informal),
bahasa melayu standar (bahasa Malaysia),dan bahasa Melayu bukan standar. Kalau
kita mengitkuti pola yang terjadi di Khalappur,maka dapat dilihat ada tiga
pasangan diglosia, yaitu (1) bahasa Cina yang dominan versus bahasa bahasa Cina
yang tidak dominan, (2) bahasa Inggris formal versus bahasa Inggris nonformal, dan (3) bahasa Melayu standar
versus bahasa Melayu nonstandar. Konsep seoerti ini yang dipakai di Khalapur
menghendaki bahwa bentuk R-nya bahasa yang mana pun mempunyai kedudukan lebih
tinggi dari pada bentuk T bahasa yang lain dalam rangkaian itu seperti halnya
bahasa Hindi R, yaitu Hindi percakapan lebih tinggi dari pada bentuk T bahasa
Khalapur, yang disebut Saf Boli.
Namun, hal ini tidak terjadi pada masyarakat orang Cina Malaysiayang terdidik
dalam bahasa Inggris.
Bahasa Melayu tinggi, yaitu bahasa Malaysia
merupakan variasi linguistic tertinggi kedua yang digunakan dalam masyarakat
itu. Sedangkan bahasa Melayu informal yang disebut bahasa melayu bazaar
mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa manapu. Bahasa
Inggris dan variasi bahasa Cina kedudukannya lebih tinggidari bahasa Melayu
Bazar ini. Di samping itu terdapat bahasa Cina Mandarrin yang mempunyai
kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan repertoire bahasa itu.
Penataan terhadap repertoire bahasa-bahasa penduduk Cina yang berbahasa Inggris
di Malaysia ini secara actual disebut linear
polyglosia.
6.3 Kaitan Bilingualisme dan
Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia
dan bilingualisme sebenaranya secara tidak lansung sudah dibicarakan diatas. Di
dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme
dan diglosia hampr setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau
bahasa R. kedua ragam bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing,
yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh masyarakaat tutr bilingual dan diglosis
adalah di paraguay.
Didalam
masyarakat bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang
bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu
situsai dan bahasa lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat
menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi an tujuan apa pun. Contoh
masyarakat yang blilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah monteral
kanada dll.
Sebuah
contoh bilingualisme tanpa diglosia dimana R sebelum ada T adalah I belgia yang
berbahasa Jerman. Disana, peralihan kebahasa perancis dan bahasa jerman
berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, dimana masing-masing
bahasa dapat di gunakan untuk sebagai tujuan. Didalam masyarakat yang berciri
diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompk penutur. Kelompok
pertama yang biasa lebih kecil, merupakan kelompok rulling group yang hanyabicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok
kedua, yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat,
hanya berbicara bahasa R. situasi diglosia tanpa bilingulisme banyak kita
jumpai do eropa sebelum perag dunia pertama misalnya, dalam satu periode
sejarah Czar Rusia, para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa Perancis,
sedangka masyarakat Rusia yang lebih luas hanya berbicara dengan bahasa rusia
dengan berbagai dialeknya.
Didalam
masyarakat yang tidak dan tidak bilingualisme tentu hanya ada satu bahasa dan
tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala jenis tujuan. Keadaan ini
hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitif atau terpencil yang dewasa ini
tentunya sukar ditemukan.
TUGAS
KELOMPOK 5
SOSIOLINGUISTIK
(
BILNGUALISME DAN DIGLOSIA)

OLEH:
1.
FACH RIZAL (A1D112012)
2.
ANTI NINING (A1D112006)
3.
ABDUL HARIS (A1D112)
4.
L.M RAHMAT(A1D112)
5.
RAFIATI (A1D112)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2013