Cari Blog Ini

Sabtu, 05 Oktober 2013

BILINGUALISME DAN DIAGLOSIA





Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh msyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur yang lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya, yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya.
6.1 Bilingualisme
Istilah biligualism (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah istilah bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Kemampuan menggunakaan kedua bahasa itu disebut bilingualitas.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang  biasa dibahas dalam bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (lihat juga Dittmar 1976 : 170) :
(1)   Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai
dengan baik) sehingga dia dapa disebut sebagai eorang bilingual?
(2)   Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini, apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek?
(3)   Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kaan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakannya BI-nya atau B2-nya?
(4)   Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-ya dapat mempengaruhi B1-nya.
(5)   Apakah bilingualisme iu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyaraka tutur?

Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, simak terlebih dahulu batasan-batasan mengenai bilingualisme yang dberika oleh beberapa orang pakar. Blommfield dalam bukunya Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan eorang penutur unutk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya” Jadi, menurut Blomfield ini seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Berkenaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitannya dengan menggunakan B2, Diebold (1968 : 10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme selanjutnya.
Pengertian bilingualisme akhirnya merupkan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, ilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan dimana saja.    
Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana? Mengutip pendapat Bloomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah bahasa secara sama baiknya. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut pakar lain, Weirinch (1968 : 1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua buah bahasa dapat berarti mebguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam bahasa yang sama.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti bahasa
Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa 
Pertanyaan ketiga Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakannya B1-nya atau B2-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosioinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama dan terutama dapat digunakan dengan para anggota msyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 adalah penutur bahasa Sunda, maka dia akan dapat menggunakan bahasa Sunda dengan semua anggota masyarakat tutur yang berbahasa Sunda, tentunya untuk keadaan dan situasi yang memang dapt dilakukan dengan bahasa Sunda itu, seperti dalam percakapan sehari-hari didalam keluarga dan untuk topik pembicaraan yang biasa. Tetapi didalam pendidikan di sekolah meskipun si guru dan si murid sama-sama ber-B1 bahasa Sunda dia tidak dapat menggunakan bahasa Sunda itu untuk alat interaksi selama jam pelajaran berlangsung. Dalam hal ini bahasa Indonesialah yang dapat digunakan sebab bahasa Indonesia, yang juga menjadi B2 bagi guru dan murid-murid itu, adalah bahasa yang diberi fungsi untuk digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, seperti dalam proses belajar mengajar itu. Tetapi bagi penutur bilingual yang B1-nya bahasa Sunda dan B2-nya bahasa Jawa hanya dapat mengunakan B2-nya itu kepada anggota masyarakat tutur bahasa Jawa. Kapan harus digunakan B1 dan kapan pula harus digunakan B2 tergantug pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Dalam cacatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilangual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat ddala masyarakat tutur itu, yaitu di Monreal, Kanada.
Masalah keempat yang dipertanyakan di atas menyangkut masalah sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-ya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruh B2-nya. Seberapa jauh pengaruh B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya? Kemungkinan itu akan ada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cuku lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.
Masalah kelima yang  dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme iu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyaraka tutur? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat pengguna bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Mackey juga mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2 ; dan tidak mengharuskan adanya masyarakat tutur yang bilingual. Berbeda dengan Mackey, Oksaar (1972-478) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu-individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok (Charer 1994). Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberikan peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa wilaya yang sangat luas : mungkin juga meliputi satu negara.

6.2 Diaglosia
Kata diaglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan Marcais, seorang linguis Prancis : tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dar Stanford Univesity, yaitu C.A Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Askociation di Wasingthon DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah terebut dalam artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimut dalam majalah Word tahun 1959.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Ferguson membicarakan diglosia dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka
 
Pemerolehan. Ragam T di peroleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Begitu juga mereka yang keluardari pendidikan formal kelas-kelas awal. Mereka yang mempelajari ragam T hamper tidak pernah menguasainya dengan lancar , selancar penguasaanya terhadap ragam R. Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidahdan aturan tata bahasa; sedangkan ragam R digunaka n secara regular dan terus menerus didalam pergaulan sehari-hari. Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah ragam T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak tahu atau tidak pernah memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa ragam R, tetapi dengan lancar mereka dapat menggunakan ragam tersebut.
Standarnisasi. Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan standarnisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus tata bahasa ,petunjuk lafal, dan buku –buku kaidah untuk  penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R  tersebut.
Stabilitas.kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanay berlansung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yangdipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. pertentangan atauperbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki cirri-ciri ragam T dan R. Peminjaman unsure leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsure leksikal ragam R dan ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat trepan ksa.ks dengan sejumlah konstruksi
Gramatika.  Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi  subordinasi  adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artificial.
Leksikon. Sebat gian besar kosa kata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasangan dalam ragam R atau sebaliknya. Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat umum. Umpamanya, dalam bahasa Yunani  “rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti; “air” untuk ragam T adalah idhor dan untuk ragam R adalah nero; dan “anggur” untuk ragam T adalah inos sedangkan untuk ragam R adalah krasi. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis hanya kosa kata ragam T yang bisa ditulis secara formal; dan hanya ragam R yang  hanya diharapkan dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia kita pun dapat mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek, istri dan bini, dan kurus dan lempeng.
Fonologi .dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Fferguson menyatakan system bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya merupakan sistem tunggal; namun, Fonologi T merupakan  system dasar, sedangkan fonologi R, yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan /stabil dalam waktu yang cukup lama meslipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan-tekana itu antara lain, (1) meningkatkan kemapuan keaksaraan dan meluaskan komunikasi verbal pada satu Negara; (2) meningkatkan penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambing kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam R. Menurut Ferguson para pendukung ragam T dan R tentu mempunyai argumentasi untuk menentukan ragam mana yang cocok untuk menjadi bahasa nasional tetapi biasanya ragam mana yang akan menang tidak mempunyai hubungan dengan argument-argumen itu. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai di dalam masyarakat; dan kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat , dan (2) apabla asyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain. Jika teori Ferguson itu benar, maka bahasa Arab klasik tidak akan menjadi bahasa nasional dinegara Arab mana pun, meskipun diberi nama bahasa nasional atau bahasa resmi; dan ragam katherevusa akan menjadi bahasa nasional Yunani.
Menurut Fisman (1972;92) diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bhasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi yang menjadi tekanan bagi Fisman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.
Kalau Ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa, maka Fisman melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai dari dua buah bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fisman 1972).
Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga munculnya apa yang disebut pasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Yang dimaksud dengan over  lapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania, seperti  yang dilaporkan Abdulaziz Mkilifi dan dikutip oleh Fasold (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa Inggris, bahasa Swahili, dan sejumlah bahasa daerah. Pada situasi, bahasa Swahili adalah bahasa T dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah. Pada situasi lain bahasa Swahili menjadi bahasa R, sedangakan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Swahili mempunyai status ganda: sebagai bahasa T terhadap bahasa Inggris.
Yang dimaksud dengan double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan: satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. tetapi  baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di Khalapur,sebuah desa di utara Delhi, India. Dalam masyarakat tutur Khalapur ada dua bahasa, yaitu bahasa Hindi dan bahasa Khalapur, yaitu salah satu variasi bahasA Hindi dengan sejumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Bahasa Khalapur dipelajari di rumah, dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari. Sedangkan bahasa Hindi dipelajari di sekolah, atau melalui warga yang bermukim di kota, maupun melalui kontak luar, dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Khalapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa Hindi sebagai bahasa T, dan bahasa Khalapur sebagai bahasa R.
Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan linear polyglosia Fasold mengemukakan hasil penelitian Platt (1977) mengenai situasi kebahasaan masyarakat Cina di kedua Negara itu mempunyai verbal repertoire yang terdiri dari bahasa Cina (yang antaranya dominan secara regional), bahasa Inggris formal (dan berbagai jenis bahasa Inggris Informal), bahasa melayu standar (bahasa Malaysia),dan bahasa Melayu bukan standar. Kalau kita mengitkuti pola yang terjadi di Khalappur,maka dapat dilihat ada tiga pasangan diglosia, yaitu (1) bahasa Cina yang dominan versus bahasa bahasa Cina yang tidak dominan, (2) bahasa Inggris formal versus bahasa Inggris  nonformal, dan (3) bahasa Melayu standar versus bahasa Melayu nonstandar. Konsep seoerti ini yang dipakai di Khalapur menghendaki bahwa bentuk R-nya bahasa yang mana pun mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada bentuk T bahasa yang lain dalam rangkaian itu seperti halnya bahasa Hindi R, yaitu Hindi percakapan lebih tinggi dari pada bentuk T bahasa Khalapur, yang disebut Saf Boli. Namun, hal ini tidak terjadi pada masyarakat orang Cina Malaysiayang terdidik dalam bahasa Inggris.
 Bahasa Melayu tinggi, yaitu bahasa Malaysia merupakan variasi linguistic tertinggi kedua yang digunakan dalam masyarakat itu. Sedangkan bahasa Melayu informal yang disebut bahasa melayu bazaar mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa manapu. Bahasa Inggris dan variasi bahasa Cina kedudukannya lebih tinggidari bahasa Melayu Bazar ini. Di samping itu terdapat bahasa Cina Mandarrin yang mempunyai kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan repertoire bahasa itu. Penataan terhadap repertoire bahasa-bahasa penduduk Cina yang berbahasa Inggris di Malaysia ini secara actual disebut linear polyglosia.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
            Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenaranya secara tidak lansung sudah dibicarakan diatas. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampr setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua ragam bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh masyarakaat tutr bilingual dan diglosis adalah di paraguay.
Didalam masyarakat bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situsai dan bahasa lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi an tujuan apa pun. Contoh masyarakat yang blilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah monteral kanada dll.
Sebuah contoh bilingualisme tanpa diglosia dimana R sebelum ada T adalah I belgia yang berbahasa Jerman. Disana, peralihan kebahasa perancis dan bahasa jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, dimana masing-masing bahasa dapat di gunakan untuk sebagai tujuan. Didalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompk penutur. Kelompok pertama yang biasa lebih kecil, merupakan kelompok rulling group yang hanyabicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok kedua, yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R. situasi diglosia tanpa bilingulisme banyak kita jumpai do eropa sebelum perag dunia pertama misalnya, dalam satu periode sejarah Czar Rusia, para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa Perancis, sedangka masyarakat Rusia yang lebih luas hanya berbicara dengan bahasa rusia dengan berbagai dialeknya.
Didalam masyarakat yang tidak dan tidak bilingualisme tentu hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala jenis tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitif atau terpencil yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan.  



















TUGAS KELOMPOK 5
SOSIOLINGUISTIK
( BILNGUALISME DAN DIGLOSIA)
OLEH:
1.                     FACH RIZAL (A1D112012)
2.                     ANTI NINING (A1D112006)
3.                     ABDUL HARIS (A1D112)
4.                     L.M RAHMAT(A1D112)
5.                     RAFIATI (A1D112)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013